Ditulis oleh Akhmad Zailani
Aminah Sjokoer (Atje Voorstad) "Sejarah Leluhur yg terlupakan" Nama beliau diabadikan menjadi sebuah nama jalan n sekolah di kota Samarinda |
Kapal melewati bekas lokasi peristiwa perampasan kapal Belgia “De Charles” saat panglima
perang Awang Long bersama pasukan kerajaan Koetai mengejar sisa pasukan Inggris di
bawah pimpinan James Erkine Murray tahun 1844 lalu.
Kapal bergerak pelan, menuju laut lepas. Makin menjauh meninggalkan muara Mahakam.
Dengus mesin kapal Nederland itu seperti musik pesta dansa bangsawan semalam.
Borneo-Amsterdam memang bukanlah jarak yang dekat. Setelah meninggalkan Borneo, kapal
yang juga membawa lada, karet, rotan, tengkawang ini akan mampir ke sejumlah pelabuhan,
termasuk pelabuhan Sunda Kelapa di Batavia. Tiba di Batavia, aku akan istirahat beberapa hari
di Hotel der Nederlanden di Rijswijk tempat aku menginap sebelum ke 0ast Borneo.
Sebenarnya, aku belum ingin meninggalkan kampung di pinggiran Mahakam yang termasuk
dalam wilayah Kerajaan Koetai. Masyarakat menyebutnya kampung Samarinda. Masih banyak
yang perlu ingin aku ketahui. Terutama tentang seorang gadis Indo-Nederland.
Kedatanganku yang pertama 5 tahun yang lalu. Di tahun 1923 bertepatan dengan pendirian Holands Inlandche School (HIS), sekolah swasta yang pertama di Samarinda. Hanya sempat menetap 1 bulan 4 hari, aku balik lagi ke Batavia.
Di awal tahun 1928, aku ke Samarinda untuk yang kedua kalinya. Residen J. De Haan, yang
baru saja menggantikan C.J Van Kempen sebagai residen di Banjarmasin yang mengajakku.
Aku masih bertahan di Samarinda ketika residen De Haan kembali ke Banjarmasin, wilayah di
selatan Borneo yang direncanakan bakal menjadi ibukota provinsi Borneo.
Aku sudah lebih dari 2 bulan di Samarinda. Alasan utamaku bertahan karena ada seorang
wanita keturanan Indo Nederland yang menarik perhatianku. Sayangnya, koran Zandvoor temp
atku bekerja sebagai pembantu wartawan meminta kembali ke Nederland. Apalagi kalau bukan
untuk membantu liputan olimpiade musim panas ke 9 di Amsterdam-Nederland tahun 1928 ini.
Padahal di tahun ini juga, insting wartawanku sudah mencium adanya rencana penting
tentang pertemuan besar para pemuda dari berbagai wilayah Hindia Belanda di Batavia.
Oost Borneo sudah hilang dari pandanganku. Aku masih berdiri di buritan kapal. Burung-burung
terbang rendah. Melayang rendah sekali. Mencium air laut lalu terbang tinggi. Menjauh.
“Kenapa kau diam?” tanyaku kepada wanita Indo-Nederland itu tanpa memandang wajahnya.
Aku mengalihkan mata ke awan yang bergerak pelan membentuk dirinya. Aku menatap
ikan-ikan berenang seperti menyeret gelombang. Angin berhembus pelan, tetapi terasa sekali
menyapa dan memeluk tubuhku.
“Bicaralah,” suaraku lagi. “Bicaralah tentang cita-citamu. Aku ingin sekali mendengar suaramu
yang lembut”.Ia diam. Suara decak air bersama dengus kapal kian terasa.
“Ah, mungkin kau lagi malas berbicara,” kataku lagi.
Tapi ia tetap diam. Membisu. Ia terkadang keterlaluan, dengan membiarkan aku berbicara sendirian.
Aku memandang ke langit biru. Awan-awan tampak bergerak pelan. Aku melihat di awan-awan
yang putih dan bergumpal-gumpal itu tergambar wajahnya yang bersih.
Kubayangkan ia tersenyum padaku, dengan bibirnya yang tipis. Rambutnya yang panjang
kekuning-kuningan berkibar-kibar sehabis berkeramas dengan fajar yang indah.
‘’Bicaralah, walaupun sepatah dua patah kata,’’ aku memelas.
Ya, ampun. Kenapa jadi begini? Tuhan buatlah suasana yang lain.Ia terus membisu.
Sedangkan angin laut Sulawesi terus saja menampar wajahku, berusaha menyadarkan.
Aku hanya bisa menghela napas putus asa. Ah, tidak! Aku tidak putus asa. Aku hanya
mendesah. Aku akan terus berusaha mengajaknya berbicara tentang apa saja. Aku lalu
menatap wajahnya. Ada keinginan yang mendesak untuk berbincang dengannya.
***
“Panggil saja aku Aminah Sjoekoer,’’ katanya suatu hari kepadaku. Bagi warga boemi poetera
pinggiran Sungai Mahakam, wanita Indo-Nederland ini lebih dikenal dengan nama Atje
Voorstad. Voorstad dalam bahasa Indonesia berarti pinggiran. Aku menduga tambahan voorstad di
belakang nama Atje itu sudah berbicara; sekalipun dia wanita keturunan Nederland, namun dia mau bergaul dengan masyarakat pribumi.
Aku mengenalnya pertama kali saat acara peresmian HIS swasta yang kemudian diambil alih
pemerintah Hindia Belanda untuk menjadi sekolah negeri. Aku rasa bukan karena sama-sama
keturunan Nederland kami cepat akrab. Atje atau Aminah orangnya memang ramah. Dia bersedia bergaul dengan siapa.
Sejujurnya, aku ingin sekali mengajak dia ke Nederland. “Apakah kamu tak punya keinginan
untuk kembali ke Nederland?” tanyaku, setelah bincang-bincang agak lama saat perkenalan pertama.
“Aku lebih suka di sini, di Samarinda. Aku ingin mewujudkan cita-citaku. Aku di sini ingin
membangun sekolah khusus wanita,” jawabnya.
Keinginan yang bagus. Dan pasti banyak halangan. Karena mendirikan sekolah untuk pribumi
saja sulit, apalagi sekolah khusus untuk wanita pribumi. Selain rumit berurusan dengan
pemerintah Hindia Belanda, juga dengan masyarakat boemipoetera yang masih menempatkan
kaum wanita sebagai bagian masyarakat kelas dua, yang menganggap wanita belum perlu
mendapatkan pendidikan yang layak. Percuma wanita bersekolah, toh nanti kembali ke dapur
juga, begitu umumnya anggapan warga pribumi. Tapi
tidak bagi Aminah. Baru sekali bertemu aku sudah bisa menyimpulkan, wanita bertubuh tinggi
ramping berkulit putih ini memiliki tekad yang kuat.
‘’Aku akan berusaha dengan segala cara agar wanita pribumi bisa mengikuti pendidikan sejajar
dengan laki-laki. Aku akan mendirikan sekolah untuk kaum wanita,’’ katanya di lain hari saat
kami berjalan-jalan kaki di chineescheveer straat.
Aku mendukungnya. Sekalipun dalam sebuah pembicaraan, residen J. De Haan sempat meremahkannya.
“Waarom zou die persoon het opzetten van een speciale school voor autochtone vrouwen. Wat een verspilling van tijd en geld
…” (Buat apa itu orang mendirikan sekolah khusus untuk perempuan pribumi. Buang-buang
waktu dan uang)’’ residen J. De Haan tersenyum sinis kepadaku.
Semangat mendirikan sekolah kembali aku lihat, ketika dia mengajakku berjalan-jalan di kampung Bandjar,sekitar
China voorstraat, Sultan weg, Herengracht straat dan smokke straat.
Kami menemui beberapa tokoh pendidikan pribumi Samarinda, yang ternyata juga sangat
mendukung dirinya. Mereka di antaranya Masdar dan M Yacob, di antara tokoh yang ikut
memperjuangkan berdirinya HIS partikelir pertama di Samarinda. Juga ada Kasirun yang
menjadi guru negeri di HIS. Aminah memperkenalkanku. “Ini Meneer
Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt seorang jurnalis dari Nederland,’’ katanya menyebut lengkap namaku.
Cukup lama juga kami berbincang dengan tokoh-tokoh cendikiawan pribumi.
Pemikiran-pemikiran mereka cukup cemerlang.
“Sebagai orang asli pribumi kami malu sekaligus bangga dengan anda. Perhatian anda
terhadap pendidikan masyarakat pribumi memotivasi kami untuk lebih bekerja keras lagi,’’ kata Kasirun.
Di kampung Bandjar itu pula lah kami berkenalan dengan Arbayah, gadis berusia 14 tahun,
yang memiliki keinginan kuat untuk bersekolah. Ayahnya bernama Abdullah, pekerja biasa di N
V Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS).
“Abah tidak setuju kalau saya bersekolah. Ujar Abah apa untungnya. Nanti setelah kawin
mengurusi dapur juga,’’ kata Arbayah.
“ Bersekolah itu pintar. Lelaki dan perempuan sama saja haknya untuk menjadi pintar,’’ kata Aminah.
Selain bertemu Arbayah, kami juga bertemu dengan beberapa anak, dan orang tua mereka.
Bagiku, pertemuan yang berkesan hanya saat bersama Arbayah. Badan gadis berkulit putih ini
bonsor. Sama seperti anak-anak lainnya. Dia cukup cantik, tapi sayangnya dia buta huruf.
“Aku ingin sekali bisa membaca dan menulis,’’ kata Arbayah.
Arbayah sering mengunjungi rumah Aminah. Aku juga menjadi akrab dengannya. Perbedaan
usia bukan penghalang bagi kami. Semakin kenal dengan Aminah, aku jadi semakin suka
bergaul dengan orang pribumi. Terutama Arbayah, gadis bongsor berkulit putih. Dia pernah
menyampaikan kepadaku, teman-teman gadis seusia dia sudah banyak yang menikah.
‘’Ini sapu tangan kenang-kenangan untuk meneer,’’ kata Arbayah ketika kebetulan aku bertemu
kembali dengannya di depan penginapan Nam Yang, tempatku menginap di Chinavoor Straat
.
“ Terima kasih,’’ kataku. Arbayah tersenyum, kepalnya kembalinya menunduk. Dia membalikan badannya, dan pergi.
“Arbayah …,’’ suaraku memanggilnya ketika sudah sekitar tujuh langkah dia pergi. Arbayah berbalik.
Aku mendekatinya. “ Ini pen dari ku”. Spontan kuambil pen dari kantongku.
Arbayah tersenyum. “ Terima kasih meneer,’’ Arbayah lantas pergi.
Tak ada pembicaraan lama ketika itu. Aku memperhatikan, ketika gadis muda itu menghilang di
tikungan jalan. Sapu tangan berwarna pink, yang bersulam bunga dari benang merah itu
kumasukkan ke dalam saku di samping kiri kemeja putihku.
“ Meneer Ivan Van Mannen Zijn Niet Echt…,’’ kudengar suara Tan Ko Tjai di belakang. “Gadis
pribumi yang cantik … cocok untuk meneer yang masih muda,’’ pedagang rotan itu ketawa.
Matanya yang sipit hampir tertutup.
Aku hanya tersenyum. Tak bisa berkata.
“ Hari ini apa kegiatan meneer?’’ tanya Tan Ko Tjai.
“ Aku nanti mau ketemu Atje voorstad dan beberapa orang pergerakan”.
“Wah aktivis pendidikan perempuan indo Nederland itu, meneer’’.
‘’Iya, perempuan cantik yang ingin mendirikan sekolah untuk wanita pribumi”.
Tak sampai 30 menit aku berbicara dengan Tan Ko Tjai, tentang Aminah, tentang orang-orang
pers, tentang akan berdirinya sejumlah organisasi pergerakan di Samarinda. Tan Ko Tjai cukup
terbuka dan berani. Tan Ko Tjai kenalan lamaku. Aku mengenalnya saat di Batavia.
“Ok, meneer saya mau ke Paal Arang dulu. Ada urusan di sana,’’ Tan Ko Tjai permisi, dan
kami berjabatan tangan. “Jangan terlalu banyak dipikirkan, meneer… dan hati-hati meneer
,’’ candanya lagi sambil bergegas berjalan.
Hari masih pagi. Aku berjanji bertemu Aminah di gedung Sjarikat Islam. Saat aku tiba, dia
sedang berbicara dengan seorang lelaki.
“Ini wartawan yang saya bicarakan tadi … “ dia berdiri seraya menjabat tanganku.
Begitupula lelaki itu. Di tangan kirinya aku lihat sepertinya koran lokal, bertulis “Persatoen”.
“Sayuti Lubis,” dia menyebut namanya.
“Jangan khawatir …,’’ Aminah tersenyum ke arah Sayuti Lubis. Giginya yang putih bersih nampak terlihat.
Selain berbicara tentang rencana pendirian sekolah khusus kaum wanita, sesekali kami juga
berbincang tentang koran dan seputarnya. Enak juga mengobrol dengan lelaki asal Tapanuli ini.
Bicaranya bersemangat. Wawasannya luas. Tak peduli dia, sekalipun kami saling kenal.
Mungkin, dia percaya sama aku, sama percayanya dengan Aminah, yang telah dikenalnya sejak lama.
Menjelang sore, aku mengantar Aminah pulang. Disepanjang jalan dia bercerita, bukan hanya
tentang abahnya Arbayah saja yang masih tak enggan anaknya bersekolah, tapi juga orang tua
dari Hadijah, Sabariah, Sumi, Zaenab dan anak-anak kampung lainnya. Dari cerita Aminah aku
masih bisa menangkap optimis, cita-citanya untuk mensejajarkan kaum wanita agar
memperoleh pendidikan yang sama dengan laki-laki akan bisa diwujudkan.
Aku juga menceritakan tentang pesan Residen J. De Haan yang disampaikan kurirnya untuk
tak bergaul terlalu akrab dengan orang pribumi, termasuk dengan dirinya. Peringatan De Haan
itu tentu saja kubiarkan. Bergaul dengan siapa saja itu adalah urusanku. Sekalipun beresiko.
***
MATAHARI hampir tengelam di laut. Cahayanya mulai pudar.
Kulihat awan putih berpedar-pedar dalam senja. Bermain-main bersama angin. Berkejar-kejaran.
Kapal terus melaju. Dengusnya masih terdengar, bersama riak gelombang. Aku sendirian.
Tidak ada Aminah Sjoekoer atau Atje Voorstad. Sekalipun angin menyapaku, menegurku untuk
memunculkan bayang Aminah Sjoekoer di benakku, sekalipun laut melambai-lambai membuka
pikiranku tentang Atje Voorstad, aku masih tetap sendirian.
Yang tersisa di kantongku hanyalah sapu tangan berwarna putih, yang di ujungnya ada gambar
pen bersulam benang warna kuning emas. Ya, pen kuning emas bukan sapu tangan berwarna
pink, yang bersulam bunga dari benang merah. Sapu tangan bergambar bunga merah milik
Arbayah sengaja aku tinggal di ranjang kamar sebelum aku meninggalkan penginapan Nam
Yang. Sapu tangan itu kutinggal setelah aku mengetahui Arbayah dinikahkan minggu depan.
Di ranjang itu pula aku meninggalkan noda merah dari kesucian Arbayah. Sekalipun sapu
tangan bunga dan noda berwarna merah aku tinggalkan, namun aku tak bisa melupakan
Arbayah, sepanjang hidupku terutama perbuatan terlarang yang kami lakukan pertama kali di
kamar penginapan Nam Yang.
Sekalipun Arbayah tak diperbolehkan sekolah dan dinikahkan abahnya, pada akhirnya, cita-cita
Aminah Sjoekoer telah terwujud. Neisjes School, sekolah untuk kaum wanita akan berdiri di
Samarinda. Aku mendengarnya sebelum berangkat naik kapal.
“Maaf aku belum bisa ikut ke Nederland. Mendirikan sekolah bukan berarti tugasku sudah
selesai. Tugas selanjutnya akan lebih berat …,’’ suaranya ketika mengantarku di pelabuhan.
Aku hanya tersenyum. Menjabat tangan kanannya. Ketika kapal Nederland yang kutumpangi
menjauh meninggalkan Samarinda, dia melambai-lambaikan tangan kanannya. Jujur, aku
belum begitu mengenalnya. Aku hanya memiliki sapu tangannya yang berwarna putih
bergambar pen dari benang kuning emas. Apakah kalian sangat mengenalnya?
Kapal pun terus melaju. Membelah gelombang. Dengusnya masih terasa. Awan-awan yang
bergumpal-gumpal membentuk dirinya sudah tak ada lagi. Kukira sebentar lagi malam yang membawa mimpi akan datang. ***
Catatan
- Awang Long =panglima angkatan perang sepangan Kerajaan Koetai, yang bergelar
Panglima Ario Senopati. Senopati yang bersama pasukannya berhasil mengalahkan pasukan
Murray. Awang Long tewas ketika pertempuran hebat melawan armada perang lengkap
Belanda di bawah pimpinan Letnan Laut T’Hoof.
- James Erkine Murray = Ingin seperti James Brooke yang berhasil mendirikan kerajan
di Brunai. Februari 1844 JE Murray membawa 2 kapal perang, yakni “Young Queen” yang
dikemudikan Kapitan Hart dan Kapal Perusak “Anna” dengan Nahkoda Lewis. Memasuki
wilayah Kutai, dengan mengatakan ingin menjadi raja. Murray meminta izin Sultan Salehuddin
untuk membuka kantor perwakilan dagang di Tenggarong dan meminta monopoli
perdagangan. Sultan meminta buka di Samarinda saja. Murray mengancam. Sultan melawan.
Akhirnya terjadi peperangan. Murray akhirnya tewas.
- Rijswijk = kawasan Jalan veteran Jakarta. Di kawasan ini dulu ada Hotel der
Nederlanden, kini menjadi gedung Bina Graha Jakarta.
- J. De Haan = residen Belanda di Banjarmasin menggantikan Van Kempen, menjabat
mulai tahun 1924-1929
- C.J Van Kempen = residen Belanda di Banjarmasin tahun 1924.
- Meneer = tuan
- Abah =bahasa Banjar, artinya ayah
- Chineescheveer straat = jalan di pusat kota di pinggir Sungai Mahakam. Dari Karang
Mumus hingga Sungai Karang Asam Besar. Perkampungan China di Jalan Pelabuhan dan di
sekitar Kampung Karang Mumus.
- Kampung Bandjar = berada di wilayah utara Wilhelmina Laan, yang membujur dari
selatan ke utara atau sepanjang Karang Mumus Straat dan Bandjar Straat.
- Kasirun =seorang guru di HIS milik Hindia Belanda, yang kemudian memilih menjadi
kepala sekolah Neutrale School, karena memiiki kebebasan menanamkan jiwa kebangsaan
kepada anak didiknya.
- NV Handel Maatshappi Borneo Samarinda (HBS) = perusahaan perdagangan
ekspor-impor yang didirikan pedagang-pedagang suku Banjar. Perkampungannya dinamakan
kampung HBS, yang letaknya di sekitar BRI sekarang. Persekutuan dagang ini selain
menyaingi pengusaha-pengusaha dagang Belanda dan China, tokoh-tokohnya juga bergerak dibidang pergerakan kemerdekaan dan da’wah Islam.
- Penginapan Nam Yang = terletak di perkampungan China, sekarang di sekitar Jalan
Pelabuhan. Di dekat penginapan Nam Yang ada pula penginapan Swan Yang.
- Paal Arang = Seperti kata Samarinda, berasal dari bahasa Banjar Samarendah
kemudian menjadi Samarindah (logat Banjar)
, Paal Arang berarti batas arang (orang Banjar suka menyebut batas dengan Paal), hingga menjadi nama Palaran salah satu kecamatan di Samarinda.
- Surat Kabar “Persatoean” = surat kabar yang pertama kali terbit di Samarinda. Directeur(pemimpin umum) dan hoof redacteur (pemimpin redaksi) Sayuti Lubis dari Tapanuli, yang juga aktivis Sjarikat Islam Cabang
Samarinda. Beberapa kali “Persatoean” mau di Bredel Hindia Belanda. Akhirnya dibredel
juga, karena dua tulisan dinilai menghasut dan menghina pemerintah Hindia Belanda. 22
Desember 1928, di depan lanraad (pengadilan) Sayuti Lubis dijatuhi hukuman penjara dua
tahun empat bulan. Sayuti banding, hukumannya diperingan lima bulan dan menjalani hukuman
di penjara Cipinang.